Tuesday, February 8, 2011

Sekilas Tentang Teenlit


Pernah dengar istilah Teenlit kan ? Kalau teman-teman yang gila baca, pasti udah nggak asing dan pasti udah ngeh banget apa itu Teenlit. Sekitar tahun 2000 genre yang satu ini mulai marak mewarnai dunia percetakan dan semakin menambah koleksi literatur baik di toko-toko buku se-level Gramedia dan Gunung Agung maupun di etalase supermaket semacam Indomart dan Alfamart dan tentunya di perpustakaan. Mulai dari cetakan yang hanya 80an halaman sampai yang 300an halaman dengan cover yang simple nan elegan sampai yang meriah pernuh warna.
Teenlit adalah singkatan dari Teen Literature merupakan sastra populer bertema kehidupan remaja dengan segala macam kisah yang memang dialami oleh remaja pada umumnya, mulai dari sulitnya proses mencari jati diri sampai dengan saat-saat fall in love dengan berbagai macam ramuan bumbunya.
Ciri Teenlit yang lain adalah gaya bahasanya menggunakan bahasa gaul dengan istilah-istilah yang aneh bagi our parent dan rangkaian kalimat yang diramu dengan bahasa ke-englih-english-an gitu. Gaya bahasa dalam Teenlit memang harus disesuai dengan gaya bahasa remaja.
Teenlit yang pernah ngetop diera 70an antara lain ‘Ali Topan Anak Jalanan’ karya Teguh Esha dan ‘Roman Picisan’ karya Eddy Iskandar. Beranjak pada era 90an yang paling ngetop abiezzz adalah serial ‘Lupus’ yang merupakan nama tokoh utama yang identik dengan permen karet karya Hilman Hariwijaya.
novel,
Era 2000an kisah yang dituangkan dalam Teenlit sudah lebih bervariasi dan bisa dibilang high-end. Sebut saja ‘Eiffel I’m in Love’ karya Rachmania Arunita yang terjual lebih dari 50 ribu eksemplar yang kemudian difilmkan dengan Samuel Rizal dan Shandy Aulia sebagai tokoh utamanya.
Pernah nonton film ‘Dealova’ yang soundtracknya
… Aku ingin menjadi mimpi indah dalam tidurmu
Aku ingin menjadi sesuatu yang mungkin bisa kau rindu
Karena langkah merapuh tanpa dirimu ………… ?
Nah, film tersebut juga diangkat dari Teenlit karya Dyan Nuranindya yang ditulisnya sejak masih kelas 2 SMP. Sekedar info, novel ‘Dealova’ terjual 10 ribu eksemplar hanya dalam waktu sebulan.
Maria Adelia atau yang akrab dipanggil Mardel menulis ‘Aku vs Sepatu Hak Tinggi’ ketika masih SMA yang konon kabarnya hanya ditulis dalam waktu dua bulan saja. Tahun 2004, novel ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama dan sukses dipasaran. Kesuksesan tersebut membuat karyanya di-filmkan dan juga ada versi sinetronya. Lebih hebat lagi, Mardel dipercaya untuk menulis sendiri skenarionya untuk film tersebut.
‘Beautiful Stranger’nya Sasya Fitriana, ‘Cinta Adisty’ karya Gisantia Bestari maupun ‘Lukisan Hujan’ karya Sitta Karina juga layak dijadikan referensi atau mungkin sekedar dibaca. Masih ada puluhan bahkan mungkin ratusan judul Teelit yang telah dicetak dan dipasarkan. Coba saja ketikkan kata kunci ‘teelit’ pada www.images.google.co.id maka akan muncul cover-cover Teenlit dengan judul yang sangat variatif, aneh atau bahkan yang terkesan asal nabrak aja semacam ‘Ratu Jeruk Nipis‘, ‘Lovasket’ maupun ‘Uglyphibia’.
So… ketika menyebut macam judul Teenlit, maka jangan sampai mengusulkan judul semacam tetraloginya Andrea Hirata dengan ‘Laskar Pelangi’, ‘Sang Pemimpi’, ‘Edensor’, ‘Maryamah Karpov’, ‘Sang Pelopor’nya Suminaring Prasojo, ‘Senopati Pamungkas’nya Arswendo Atmowoloto yang jumlah halamannya mencapai 3000 lembar dan jangan pula menyebut ‘Gajah Mada’ karya Kresna Hadi, pun demikian ‘Cinta Bertasbih’nya Habiburahman el Sirazy jangan pula diusulkan untuk masuk dalam himpunan Teenlit. J
Teenlit memang karya anak muda yang sedang tren saat ini, namun demikian perlu juga dicermati pendapat sebagian kalangan yang beranggapan bahwa karya ini adalah karya yang terlalu ringan. Sama sekali tidak mengangkat fenomena krusial dalam masyarakat. Teenlit juga dianggap hanya menawarkan sisi manis kehidupan, sesuatu yang tidak bisa dianggap sebagai kondisi global masyarakat Indonesia. Gugatan demikian pada satu sisi memang ada benarnya. Kalau kita bandingkan, misalnya dengan novel ‘Bunga’ karya Korrie Layun Rampan, teenlit jelas tidak seimbang. Korrie tidak sekadar menyajikan dengan bahasa yang taat kaidah, tapi juga indah. Isu yang diangkat juga cenderung lebih kaya dan berbobot. Selain itu, Teenlit juga dianggap sebagai genre yang merusakkan bahasa.
Meskipun ragam lisan menjadikan Teenlit sangat dekat dengan pembacanya yang notabene merupakan remaja, ragam itu cenderung tidak disajikan dengan daya didik yang tinggi. Malah keberadaan bahasa Indonesia terkesan tidak terencana dan tidak terpola dengan baik. Termasuk pula keberagaman bahasa dan warna-warni percakapan yang dipandang tidak dapat dipola dan hampir tidak terkendali. Selain itu, dari segi politik bahasa nasional, novel Teenlit dianggap tidak memedulikan bahasa Indonesia.
Dari segi isi, Teenlit juga dituduh sebagai genre yang menganggap bahwa nilai-nilai pergaulan seperti di Barat (berciuman dengan lawan jenis, membicarakan seks, pesta-pesta) wajar-wajar saja diterapkan. Maka yang ditampilkan ialah warna-warni kehidupan yang meniru gaya Barat. Sehingga rok pendek dan baju ketat turut menjadi tren masa kini. Demikianlah kira-kira gugatan yang disampaikan lewat sebuah Debat Sastra yang diselenggarakan di Universitas Nasional, tentang Teenlit.
Bagi yang kebetulan novelaholic, dapat pula menyanggah gugatan tersebut karena meski dinilai miring oleh sejumlah kalangan, kehadiran Teenlit bukannya tanpa nilai positif. Selain membakar semangat para penulis muda untuk berani berekspresi, Teenlit terbukti mampu meramaikan dunia perbukuan di Indonesia. Terlebih lagi, dengan membanjirnya jenis bacaan yang sangat mudah dicerna ini, minat baca remaja turut meningkat. Teenlit juga cukup berhasil mengangkat kehidupan remaja (meski masih terbatas pada remaja perkotaan) ke permukaan, sekaligus menawarkan alternatif jati diri.

No comments:

Post a Comment

Powered By Blogger
cursor by onehundred-vicless-nights

Please Translate Here